“INI nikmat ataukah azab?” (3)


yang tidak aku cintai? Dan lagi-lagi aku hanya bisa pas-

pas. Sinar wajah ibu berkilat-kilat, hadir didepan mata

duh gusti tabahkan hatiku!

Hari pernikahan itu datang. Aku datang seumpama

tawanan yang digiring ketiang gantungan. Lalu duduk di

pelaminan bagai mayat hidup,  hati hampa, tanpa cinta.

Apa mau dikata, cinta adalah anugerah Tuhan yang tak

bisa dipaksakan, pesta meriah dengan bunyi empat grup

rebana terasa konyol. Lantunan

shalawat

nabi terasa

menusuk-menusuk hati. Inna lillahi wa ilahi rajiun!

Perasaan dan nuraniku benar-benar mati.

Kulihat Raihana tersenyum  manis, tapi hatiku

terasa teriris-iris dan jiwaku meronta-ronta. Aku benar-

benar merana. Satu-satunya, harapanku hanyalah berkah

dari Tuhan atas baktiku pada ibu yang amat kucintai.

Rabbighfir li wa liwalidayya

Layaknya pengantin baru, tujuh hari pertama

kupaksakan hatiku untuk memuliakan Raihana sebisanya.

Kupaksakan untuk mesra, bukan karena cinta. Sungguh,

bukan karena aku mencintainya. Hanya sekedar karena aku

seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayat nya,

oh, alangkah dahsyatnya sambutan cinta Raihana atas

kemesraan yang ku merintih menangisi kebohongan dan

kepura-puraanku. Apakah aku telah menjadi orang

munafik karena memdustai diri sendiri dan banyak orang?

Habiburahman  El  Shirazy

Duhai tuhan mohon ampunan. Aku yang terbiasa membaca

ayat-ayat-Nya kenapa bisa itu menebas leher

kemanusiaanku. Dan aku pasrah tanpa daya.

Tepat dua bulan setelah pernikahan,kubawa Raihana

kerumah kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah

nyanyian hampa kehidupan mencekam. Aku tak menemukan

adanya gairah. Hari-hari indah pengantin baru, mana?

Mana hari-hari indah itu? tak pernah kurasakan! Yang

kurasakan adalah siksaan-siksaan jiwa yang mendera-dera.

Oh, bertapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta.

Sudah dua bulan aku hidup bersama seorang istri. Makan,

minum, tidur dan shalat bersama mahluk yang bernama

Raihana, istriku. Tapi, masya allah, bibit-bibit cintaku tak

juga tumbuh. Senym manis Raihana tak juga menembus

batinku. Suaranya yang lembut tetap saja terasa hambar.

Wajahnya yang teduh tetap saja terasa asing bagiku.

Sukmaku merana. “Duhai cintaa hadirlah, hadirlaaaah! Aku

ingin merasakan seperti apa indahnya mencintai seorang

isteri!” jerit batinku menggedor–gedor jiwa. Cinta yang

kudamba bukannya mendekat, tapi malah lari semakin jauh

dari detik ke detik. Pepatah Jawa kuno bilang,

Wiwiting

tresno jalaran soko kulino!

Artinya, hadirnya cinta sebab

sering bersama. Tapi pepatah itu agaknya tidak berlaku

untukku. Aku setiap hari bersama Raihana. Berada dalam

satu rumah. Makan satu meja. Dan tidur satu kamar. Tapi

cinta itu kenapa tak juga hadir-hadir juga? Kenapa!? Yang

hadir justru perasaan tidak suka yang menyiksa. Aku

kuatir, jangan-jangan aku bisa gila! Atau aku sebenarnya

telah gila? Tapi tidak! Tidak ada yang menyebutku gila. Aku

masih bisa mengajar di kampus dengan baik. Masih bisa

menjawab pertanyaan-pertanyaan mahasiswa dengan baik.

Tapi, dalam sejarah kehidupan manusia banyak orang gila

yang kelihatannya normal-normal saja. Banyak juga yang

kelihatannya aneh tapi sebenarnya dia tidak gila. Cinta

yang

salah kedaden

memang sering menciptakan orang-

orang gila. Begitu juga cinta yang tidak kesampaian.

Apakah aku akan tecatat dalam daftar orang-orang gila

karena

salah kedaden

dalam menghayati cinta?

Embuh

!

Memasuki bulan keempat , rasa muak hidup

bersama Raihan mulai kurasakan. Aku tak tahu dasar

munculnya perasaan ini. Ia muncul begitu saja. Melekat

begitu saja dalam dinding-dinding hati. Aku telah mencoba

membuang jauh-jauh perasaan tidak baik ini. Aku tidak

mau membenci atau muak pada siapa pun juga, apalagi

pada isteri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucinta.

Tetapi entah kenapa, perasaan tidak baik itu tetap saja

bercokol di dalam hati. Sama sekali tidak bisa diusir dan

dienyahkan. Bahkan, dari detik ke detik rasa muak itu

semakin menjadi-jadi, menggurita dan menjajah diri.

Perasaan itu mencengkeram seluruh raga dan sukma. Aku

tak berdaya apa-apa.

Sikapku pada Raihana mulai terasa lain. Aku

merasakanya tapi aku tiada bisa berbuat apa-apa. Aku

lebih banyak diam,acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun

lebih banyak diruang kerja atau diruang tamu. Aku sendiri

heran dengan keadaan diriku. Aku yang biasanya suka

Habiburahman  El  Shirazy

romantis kenapa bisa begini sadis. Aku. Inginku. Galuku.

Resahku. Dukaku. Mengumpal jadi satu. Tak tahu aku, apa

yang terjadi pada diriku. Pikiran dan hatiku pernah duka

yang tidak mengalaminya. Duka yang bergejolak-gejolak

tiada bias diredam dengan diam. Duka yang menganga

menebarkan perasaan sia-sia. Aku mengutuk keadaan dan

mengutuk diriku sendiri dalam diri:

Dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau

Resahku resahkau resahrisau resahbalau

resahkalian

Raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian

Mauku maukau mautahu mausampai maukalian

Maukenal maugapai

Sisaku siasakau siasiasia siarisau siakalian

Sia-sia….!

Aku merasa hidupku adalah sia-sia. Belajarku lima

tahun diluar negeri sia-sia. Pernikahanku sia-sia.

Keberadaanku sia-sia. Dan usahaku untuk berbakti pada

ibu adalah sia-sia. Aku merasa hanya menemui kesia-siaan.

Sebab aku telah berusaha menemukan cahaya cinta itu

namun tak kutemukan juga, yang datang justru rasa muak

dan hampa yang menggelayut dalam relung jiwa. Bacaan

Alquran Raihana tak menyentuh hati dan perasaan.  Aku

bingung sendiri pada diriku. Aku ini siapa? Apa yang

sedang aku alami sehingga aku merasa sedemikian balau.

Sehingga diriku tak ubahnya patung batu.

 

Bersambung……..

 

(3)
Tunggu Kelanjutan Ceritanya….

* Habiburahman  El  Shirazy (Pudarnya Pesona Cleopatra).

6 thoughts on ““INI nikmat ataukah azab?” (3)

    • wah kalau itu sayajuga kurang tau…
      soalnya ini bukan karya saya Mba…..
      Ini Karyanya “Habiburahman El Shirazy”.
      kalau hanya sekedar tulisan sih Aku adalah Seorang Suaminya itu…!!!
      kalau tokoh dalam nyata kgk tau.. : D
      soalnya penulis pun tidak menyebutkan demikan….

Tinggalkan Balasan ke мυнαмαđ яoмđoиι Batalkan balasan