Semakin aneh Negara ini, apalagi Indonesia termasuk Negara yang Demokrasi dan Kebanyakan dari Agama Islam.
Sekarang sedang hangat-hangat isu larangan jilbab bagi anggota polisi perempuan. Sebagai penulis, saya ingin melihat dari sisi yang lebih objektif, tentu bukan dari sisi emosional yang kemudian menimbulkan perdebatan panjang. Kita hindari debat, mari telaah baik buruk dari jilbab!
Memakai jilbab pada dasarnya sudah jadi kewajiban seorang muslimah, dalam al-Quran surat al-Ahzab ayat 59 dan an-Nur 31 sudah jelas sekali ketentuan itu. Mau tidak mau, ajaran Islam mewajibkan perempuan menutup auratnya. Dari kedua ayat itu jelas sekali bahwa seorang perempuan harus menutup kepala sampai dada, berpakaian sopan sehingga terlibat lebih menawan. Kata wajib merupakan keharusan yang mesti dituruti. Inilah perbedaan sunnah dengan wajib, sunnah bisa ditinggalkan tapi tidak berdosa dan wajib ditinggalkan akan berdosa. Perkara tidak memakai jilbab lantaran berbagai alasan, kembali lagi pada fitrah sebagai muslimah, kepada kedua ayat tersebut. Al-Quran merupakan pedoman yang harus dipatuhi keabsahannya.
Seharusnya, setiap orang yang mengaku muslim atau muslimah selayaknya mengerti akan hal ini. Saya tidak tahu apakah yang memberikan larangan tersebut sudah mengimani semua perintah dan larangan agama. Jika belum, sepantasnya dia harus belajar lagi Islam dengan benar – jika dia seorang muslim. Islam di kartu pengenal saja tentu berbeda dengan seorang muslim. Islam adalah agama yang ditulis, sedangkan muslim adalah orang yang beriman dan taat kepada aturan Islam, sebagaimana aturan negara yang patut dihormati dan dijalankan. Dalam al-Quran sendiri, pelafalan wahai orang muslim dan muslimat, atau wahai orang mukmin dan mukminat, tidak ada pelafalan wahai orang Islam, itu tandanya bahwa Islam belum tentu beriman.
Rasanya paragraf di atas sudah keluar tema khusus tulisan ini, tapi itu jadi sebuah bayangan bahwa seorang Islam harus benar-benar paham kewajiban dan haknya sebagai muslim taat.
Jilbab adalah kewajiban. Tidak ada tawar-menawar untuk tidak dan mengenakan jilbab. Setiap muslimah harus mengenakan jilbab!
Urusan pekerjaan memang kerap sekali membuat seorang muslimah menanggalkan jilbab mereka. Sekarang muncul lagi peraturan pelarangan jilbab bagi anggota polisi perempuan. Ini adalah masalah janggal, di negara bernama demokrasi Indonesia. Di mana setiap orang berhak menjalankan kemauannya selama masih di taraf benar dan baik sesuai perundangan yang berlaku. Lantas, apakah jilbab sebuah petaka? Sebuah larangan? Sebuah hal buruk? Penyakit? Semua orang punya jawaban tersendiri, namun jika dia seorang muslim muslimah, jilbab itu sudah diamalkan sebagai kewajiban berdasarkan kedua ayat tersebut.
Pelarangan jilbab bagi Polwan adalah sebuah hal yang tidak masuk akal, Polwan juga merupakan seorang muslimah yang menjalankan perintah agama dengan benar. Mereka punya kewajiban mengurus negara, mengatur semua permasalahan yang terjadi sehingga seimbang, kewajiban mereka sama dengan kewajiban warga negara biasa, hanya pangkat mereka berbeda.
Buang jauh-jauh bahwa Polwan harus berpakain super minim, ini tentu tidak enak dipandang. Polwan itu selalu identik dengan seorang perempuan tinggi, langsing, cantik, berpakaian serba ketat, memakai topi. Ini paradigma yang kuno, sekarang orang bebas melakukan apa saja. Termasuk cara berpakaian. Pelarangan jilbab tentu jadi bomerang bagi perempuan muslimah menjadi bagian dari penjaga keamanan negeri. Mereka tidak lagi bisa berinteraksi dengan masyarakat, memberikan pemahaman yang benar masalah lalu lintas dan kriminal.
Pola pikir yang kemudian dijadikan patokan, seorang Polwan tak boleh berjilbab lebih kepada pribadi pemberi keputusan itu. Bahwa dia belum benar-benar paham akan kultur masyarakat Indonesia. Dan tidak paham ajaran agama dengan benar. Sikapnya menunjukkan bahwa dia lebih mementingkan napsu sebagai seorang manusia dibandingkan kecakapan dalam bekerja.
Keputusan Polwan tak boleh berjilbab menimbulkan berbagai kontra di dalam masyarakat. Karena ini adalah masalah yang sangat ringan, berhubungan dengan pribadi dan ketaatan terhadap agama. Menyoal sebuah opini di Kompasiana, yang menanyakan posisi televisi berita di Indonesia, yang diam saja tak memberikan dengan heboh isu ini dibandingkan isu korupsi yang membuat masyarakat semakin bodoh dan ikut korupsi.
Statsiun Televisi yang dimaksud dalam tulisan tersebut adalah Metro TV dan TV One. Dua TV berita yang sama-sama kuat dan gencar memberikan persoalan dalam negeri. Namun lengah akan masalah jilbab ini. Tidak bisa dipungkiri kedua TV ini juga “anti” terhadap jilbab!
Benar. Awalnya saya bertanya-tanya saat seorang presenter berita Metro TV tidak lagi on air. Belakangan saya tahu, presenter ini tidak lagi membaca berita seperti biasanya. Semenjak memutuskan berjilbab, perempuan ini “didepak” dari Metro TV. Dia adalah Sandrina Malakiano, melalui blog pribadi perempuan ini akhirnya buka suara bahwa perempuan berjilbab seperti dirinya “haram” muncul di layar kaca saat membaca berita. Walau ada pengecualian, dia bisa tampil memandu talkshow di bulan puasa, namun rasa sakit hatinya terhadap managemen Metro TV begitu kental dari suara hatinya.
Masalah ini jelas-jelas sebuah keputusan dari TV besar. Begitu ada masalah tentang pelarangan jilbab Polwan, kedua TV ini diam saja tak berkutik. Karena mereka sendiri sudah punya aturan tersendiri mengenai jilbab. Memang, beberapa reporter mereka mengenakan jilbab, tapi hanya sebatas reporter lapangan, tidak naik kelas menjadi pembaca acara atau presenter berita walau prestasi mereka tergolong bagus.
Peraturan pemerintah seakan dibuat berdasarkan napsu perorangan. Untuk menggais rupiah, untuk memuaskan napsu, atau untuk menjadi hebat di mata negara lain. Saya rasa pemikiran itu tidak tepat.
Lepas dari kasus Polwan yang akan melepas jilbab mereka dan sikap Metri TV dan TV One yang tak membombardir berita ini. Ada fenomena lain yang semakin hari semakin menggila di Indonesia.
Jilbab menjadi trend bagi artis Indonesia. Banyak artis yang sudah mengenakan jilbab dengan benar. Artinya bukan sekadar tuntutan layar kaca. Sebut saja Inneke Koesherawati, dr. Lula Kamal, Desy Ratnasari, Astri Ivo, Marshanda, Zaskia Mecca, Oki Setiana Dewi, Meyda Safira dan lain-lain. Mereka tetap saja eksis dilayar kaca dan tetap berlimpahan rezeki. Dengan berpenampilan serba tertutup ternyata masyarakat malah memuji bukan mencela. Ini prestasi yang tidak bisa dibandingkan dengan kemauan yang penuh napsu. Dunia hiburan yang sangat glamor saja menerima mereka yang berjilbab, kenapa panutan masyarakat – polisi – tidak boleh berjilbab?
Fenomena lain muncul saat Fatin menang di X Factor Indonesia. Ini sangat menarik terlepas dari beberapa selebriti yang sudah duluan mengenakan jilbab. Fatin bukan selebriti yang kemudian “tobat” tetapi seorang peserta audisi yang memiliki suara khas. Sebelum masuk audisi Fatin sudah terlebih dahulu berjilbab, satu-satunya penyanyi yang sudah menutup dirinya sebelum terjun payung menjadi selebriti hebat Indonesia.
Buktinya, masyarakat malah senang dan antusias dengan hadirnya Fatin. Bisa jadi karena bosan melihat lenggak-lenggok penyanyi dan artis yang menjual tubuh mereka sebagai modal keartisan. Fatin tak perlu merebut hati masyarakat dengan goyangan macam-macam, cukup menyanyi saja. Ini membuktikan bahwa kualitas di atas segala-galanya dibandingkan kuantitas. Bahkan lagu-lagu yang dinyanyikan Fatin lebih populer dibandingkan penyanyi aslinya, dan semua berita tentang Fatin diburu penggemar tanpa memandang rendah jilbab Fatin.
Ada sebagian yang mengatakan karir Fatin akan meredup karena jilbab, ini adalah cara pandang yang pertama tadi. Semua dinilai dari tubuh seksi, sedangkan kualitas nomor sekian.
Akhirnya, kepada yang berwenang. Apakah Anda mencari Polwan, Presenter dan Artis yang kualitas atau kuantitas?
Copas Sumber : Kompasiana